Dewasa ini, kebutuhan dan permintaan akan bahan bakar minyak yang biasa dikenal dengan BBM terutama gasoline atau bensin terus mengalami peningkatan. Tercatat di Statistik Migas Kementerian ESDM, kebutuhan Indonesia akan bahan bakar minyak mencapai 70,9 juta kilo liter (KL) untuk tahun 2018. Angka ini meningkat sejauh 2,7 juta KL dari tahun sebelumnya yang berarti peningkatannya sekitar 4% dengan gasoline atau bensin menempati posisi kedua terbanyak dikonsumsi. Berbanding terbalik dengan jumlah pemintaan, persediaan akan minyak mentah sebagai bahan baku pembuatan BBM terus mengalami penurunan secara signifikan. Dikutip dari Katadata.co.id dan CNN Indonesia, persediaan minyak mentah per bulan Desember 2018 menurun sekitar 350 ribu barel perharinya. Hal ini membuat harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/IPC) kini melambung tinggi sekitar USS 63,60 perbarrel pada Maret lalu, naik sebesar 3,6% dari bulan sebelumnya (Data Kementerian ESDM). Sedangkan harga minyak dunia menanjak naik sekitar 1 % pada Februari lalu.
Sumber : Statistik Migas Kementerian ESDM
Bukannya tidak beralasan, dikutip dari Katadata.co.id, penurunan persediaan ini dikarenakan adanya kesepakatan sesama negara anggota OPEC (Organization of The Petroleum Exporting Countries) untuk memangkas produksi minyak mentah yang telah dimulai sejak Januari 2019 lalu. Tak tanggung-tanggung, pemangkasan produksi ini mencapai 1,2 juta barel per hari (bph). Selain itu, faktor lainnya dikarenakan pernyataan Arab Saudi terkait rencana pengurangan produksi minyak mentah menjadi 9,8 juta barel bph pada bulan Maret 2019 dan karena terpotongnya main power cable pada lapangan minyak mentah offshore terbesar didunia yaitu Lapangan Safaniyah di Arab Saudi yang menyebabkan penurunan produksi minyak mentah.
Dibidang lingkungan, dampak yang ditimbulkan oleh penggunaan bahan bakar minyak bumi terhadap lingkungan terlihat memprihatinkan. Dikutip dari Hadeel, dkk (2011), untuk menjalankan mesin motor, bensin dibakar untuk mendapatkan cukup energi, tetapi ketika pembakaran terjadi tidak hanya energi berupa kerja yang dihasilkan. Terdapat pula beberapa emisi yang dilepaskan seperti karbon diosida, dan bahan beracun lainnya yang akan bereaksi jika terkena sinar matahari. Hasilnya, terjadi polusi pada atmosfer (gas rumah kaca) dan sangat berpotesi menimbulkan kerusakan pada lapisan ozon. Kerusakan pada lapisan ozon akan memicu terjadinya global warming yang ditandai dengan meningkatnya suhu atmosfer. Tentu saja hal ini akan mengganggu keseimbangan ekosistem di bumi.
Untuk menjawab beberapa permasahalan yang dijelaskan diatas, salah satu jalannya adalah dengan menggunakan energi alternatif terbarukan seperti bioetanol. Menurut Bambang Prastowo (2007) dalam Haluti, S (2014), bioetnaol merupakan etil alkohol (C2H5OH) yang dapat dibuat dengan cara sintesis etilen atau dengan fermentasi glukosa dari bahan baku hayati. Keunggulan bioetanol menurut Litya dan Iskandar (2014) antara lain dapat menurunkan emisi gas berbahaya (CO, NO, dan SO2) dan menghasilkan gas rumah kaca yang sangat rendah bila dibandingkan dengan pembakaran minyak bumi. Selain itu, juga dapat menurunkan emisi senyawa organik hidrokarbon, benzena karsinogenik, butadiena dan emisi partikel yang dihasilkan dari pembakaran minyak bumi. Kini, bioetanol juga telah gencar diproduksi diberbagai negara untuk menggantikan bahan bakar seperti di Amerika Serikat dimana bioetanol yang diproduksi berasal dari tongkol jagung dan berhasil memproduksi sekitar 14 juta m3 pada tahun 2014 (Arlianti, L, 2018).
Jika dibandingkan, etanol lebih baik daripada bensin karena memiliki angka research octane 108,6 dan motor octane 89,7, angka tersebut melampaui nilai maksimum yang mungkin dicapai oleh bensin, yaitu research octane 88 (Perry, 1999 dalam Haluti, S, 2014). Dengan nilai oktan yang tinggi, proses pembakaran menjadi lebih sempurna dan dapat digunakan sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer) menggantikan senyawa eter dan logam berat seperti Pb sebagai anti-knocking agent yang memiliki dampak buruk terhadap lingkungan. Akan tetapi untuk memaksimalkan kualitas bioetanol sebagai bahan bakar pada spesifikasi mesin motor kendaraan saat ini, bioetanol perlu di campur dengan bahan bakar (blending). Bioetanol yang dicampur tidak boleh mengandung air sama sekali (Haluti, S, 2014). Blending gasoline dengan bioetanol ini biasa dikenal dengan gasohol, keuntungannya adalah untuk mengemat bensin yang persediaannya semakin menipis serta sebagai BBM ramah alam atau biasa dikenal dengan green energy. Normalnya campuran bioetanol yang digunakan sekitar 5-25%, salah satu produknya dikenal dengan E25 (25% etanol dan 75% bensin).
Indonesia adalah negara kaya dengan hasil pertanian yang melimpah. Sebagian besar komoditi utama pertanian Indonesia didominasi oleh bahan baku pembuatan etanol seperti ubi kayu, padi, pisang, jagung dan lainnya. Salah satu bahan yang dapat diolah menjadi bioetanol adalah tongkol jagung. Tongkol jagung merupakan 30% bagian jagung. Menurut data dari Kementerian Pertanian, jagung disebut sebagai salah satu komoditi utama pertanian di Indonesia dengan produksi pertahunnya mencapai sekitar 30 juta ton untuk tahun 2018. Berikut tersaji data mengenai produksi dan kebutuhan jagung setiap tahunnya dimulai dari tahun 2014 hingga tahun 2018.
Sumber : Buku Statistik Pertanian (Agricultural Statistics)
Terlihat bahwa produksi jagung di Indonesia terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan produksi sekitar 3.91%. Volume impor jagung ke Indonesia juga terjun bebas sekitar 46,34% , sedangkan volume ekspor jagung merangkak naik ke angka 12,14% pada tahun 2018. Luas area panen pun mengalami peningkatan, artinya setiap tahun terdapat lahan-lahan baru yang dibuka untuk memperbesar angka produksi. Hal in tentu mencerminkan bahwa saat ini produksi jagung di Indonesia terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Kita tidak bisa menyangkal kenyataan bahwa tongkol jagung dapat digunakan sebagai bahan pembuatan bioetanol. Menururt Irawadi (1990) dalam Fachry, dkk (2013), karakteristik kimia dan fisika dari tongkol jagung sangat cocok untuk pembuatan tenaga alternatif bioetanol, kadar senyawa kompleks lignin dalam tongkol jagung adalah 15-30%, untuk hemiselulos 20-30% , dan selulos 40-60%. Pengolahan tongkol jagung menjadi bioetanol sendiri dapat dilakukan dengan fermentasi menggunakan bahan tambahan lain berupa bahan yang mengandung gula. Fermentasi dilakukan dengan bantuan ragi, biasanya menggunakan Saccharomyces cerevisiae. Sebelum difermentasi, tongkol jagung perlu di treatment dengan NaOH dan dihidrolisis dengan HCl. Pengolahan ini bergantung kepada konsentrasi gula, bahan nutrient, pH fermentasi, temperatur dan waktu yang diperlukan untuk fermentasi. Dengan komposisi yang tepat, akan diperoleh kadar etanol yang berkualitas tinggi dari setiap massa tongkol jagung. Menurut Richana (2008) dalam Haluti, S (2014), satu ton tongkol jagung dapat menghasilkan sekitar 142,2 liter bioetanol. Bioetanol dari tongkol jagung juga memiliki energi kalor sebesar 12,1 MJ/kg yang menunjukkan bahwa tongkol jagung mempunyai potensi untuk digunakan sebagai bahan pembuatan etanol.
Melalui penjabaran diatas, terlihat bahwa melimpahnya produksi jagung di Indonesia dan tingginya kandungan selulosa serta nilai kalor mengindikasikan tongkol jagung memiliki potensi sebagai bahan baku pembuatan bioetanol untuk menggantikan bahan bakar dengan permintaan pasar yang tinggi atau sebagai bahan campuran bahan bakar bensin agar memperoleh angka oktan maksimal pada spesifikasi motor kendaraan saat ini. Selain itu agar bahan bakar yang digunakan memiliki label “bahan bakar ramah alam (green energy)”. Karena saat ini tongkol jagung hanya dianggap sebagai limbah tak bernilai jual tinggi, diharapkan agar potensi ini tidak dipandang sebelah mata, mengingat perlunya pembaruan energi yang juga telah ramai dilakukan oleh berbagai negara untuk menjawab tantangan krisis energi dan menciptakan lingkungan yang lebih nyaman kedepannya.
Daftar Pustaka :
Arlianti, L. (2018). Bioetanol Sebagai Sumber Green Energy Alternatif yang Potensial di Indonesia. Jurnal Keilmuan dan Aplikasi Teknik Vol. 5(1), 16-22.
CNN Indonesia. (2019). Stok Global Menipis, Harga Minya Dunia Melonjak. (online) https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190207070722-85-367021/stok-global-menipis-harga-minyak-dunia-melonjak. (Diakses pada 18 April 2019).
Fachry, A., & dkk. (2013). Pembuatan Bioetanol Dari Limbah Tongkol Jagung dengan Variasi Konsentrasi Asam Klorida dan Waktu Fermentasi. Jurnal Teknik Kimia Vol. 1(1), 60-69.
Hadeel, A., & dkk. (2011). Bioethanol Fuel Froduction From Rambutan Fruit Biomass as Reducing Agent of Global Warming and Greenhouse Gases. African Journal of Biotechnology Vol. 10(50), 10157-10165.
Haluti, S. (2014). Pemetaan Potensi Limbah Tongkol Jagung Sebagai Energi Alternatif Di Wilayah Provinsi Gorontalo. Surabaya: ITS.
Kementerian ESDM. (2018). Statistik Migas – Penjualan BBM. (online) http://statistik.migas.esdm.go.id/index.php?r=konsumsiBbm/index. (Diakses pada 18 April 2019).
Kementerian Pertanian. (2018). Statistik Pertanian (Agricultural Statistics). Jakarta: Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
Litya, J., & Iskandar. (2014). Pembuatan Bioetanol dari Tebu dan Ubi Jalar Serta Pengujian Pada Motor Bakar Torak. Jurnal TeknikA Vol. 21(2), 45-56.
Nafi, M. (2019). Badan Energi: Isu Geopolitik Mengkhawatirkan Pasar Minyak Dunia. (online) https://katadata.co.id/berita/2019/03/12/badan-energi-isu-geopolitik-mengkhawatirkan-pasar-minyak-dunia. (Diakses pada 18 April 2019).
Setiawan, V. (2019). Produksi Dunia Berkurang, Harga Minyak Indonesia Februari Naik 8,4%. (online) https://katadata.co.id/berita/2019/03/08/produksi-dunia-berkurang-harga-minyak-indonesia-februari-naik-84. (Diakses pada 18 April 2019).