foto: shutterstock
Bahan bakar Migas (Minyak dan Gas) merupakan jenis bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui, meskipun dapat dinikmati secara melimpah pada saat ini nyatanya cadangan migas di seluruh penjuru bumi kian menipis. Suatu negara tidak dapat bergantung hanya kepada suatu ekosistem, terutama yang sumbernya tersedia terbatas di alam. Jika tidak mampu untuk mencari alternatif lain atau mencari keragaman, ekonomi suatu negara terancam hancur dan kolaps meskipun dalam kurun waktu puluhan tahun.
Indonesia saat ini masih sangat bergantung dengan sumber energi fosil, pada tahun 2014 kementrian ESDM mencatat bahwa energi fosil masih mendominasi dalam konsumsi energi primer (tanpa biomasa tradisional), di mana konsumsi minyak bumi 88 juta TOE atau 41% dari total konsumsi energi nasional, diikuti batubara dengan 32,3% biomasa modern di 2,9% , panas bumi sebesar 1,1% dan listrik impor 0,8 % (Sumber : Indonesia Energi Outlook)
Memasuki masa emasnya, sekitar tahun 1970-1990 produksi minyak bumi Indonesia pernah mencapai 1,3 juta – 1,6 juta barrel per hari (Sumber :Reforminer Institute) . kemudian mulai memasuki tahun setelahnya sampai sekarang, produksi minyak kian menurun. Penyebabnya adalah karena natural production decline rate Indonesia sangat tinggi, mencapai angka 28 % per tahun. Ditambah 72 % produksi minyak nasional berasal dari blok migas yang rata rata sudah berumur 30 tahun keatas (Sumber: Kompas.com).
Dikala menaiknya tingkat kebutuhan warga akan BBM, produksi BBM terus menurun. Pada tahun 2017 produksi minyak indonesia menyentuh angka 950 ribu barrel per hari sementara konsumsi akan minyak meningkat sebesar 1,65 juta barrel per hari, dapat disimpulkan bahwa angka defisit sudah mencapai 700 ribu per hari (Sumber: BP Global Company). Hal ini yang mendorong negara kita melakukan impor minyak secara besar-besaran dan memasuki tahap yang mengkhawatirkan.
Dewasa ini, sudah banyak ditemukan alternatif pengganti BBM. Namun kebanyakan dari alternatif tersebut belum dapat kita olah dengan baik atau belum adanya infrastruktur yang dapat mendukung penggunaan energi alternatif tersebut. Sebut saja Bioethanol contohnya, Bioethanol mudah untuk diproduksi namun untuk menjadikannya Bioethanol Fuel Grade (BFG) yang memiliki tingkat kemurnian 99%, mengakibatkan harga jual nya melambung tinggi. Jika ethanol dengan kemurnian 95% yang dijual di toko bahan kimia dihargai Rp 30.000 per liter, maka untuk BFG dengan kemurnian 99% pastinya akan melebihi harga BBM dengan selisih perbedaan sangat tinggi.
Alternatif lain adalah Compressed Natural Gas (CNG). CNG atau yang lebih dikenal di Indonesia sebagai Bahan Bakar Gas (BBG) sebenarnya sudah mulai diterapkan di armada bus Transjakarta dan sebagian angkutan umum serta kendaraan pribadi di wilayah Jakarta. Namun tetap saja belum dapat menggantikan BBM sebagai konsumsi energi primer, Justru armada Transjakarta ber bahan bakar gas dikurangi akhir akhir ini. Beberapa alasannya adalah, masih kurangnya infrastruktur SPBG yang tersedia, kemudian tangki penyimpanan yang kuat, karena BBG bertekanan tinggi. Opini publik yang beranggapan bahwa BBG ‘kurang aman’ rentan terjadi kecelakaan diakibatkan oleh BBG itu sendiri membuat BBG masih belum diminati.
Mobil listrik digadang gadangkan sebagai cara pemerintah untuk menggantikan mobil konvensional ber bahan bakar minyak. Peraturan Presiden mengenai Mobil Listrik pun sudah mulai diterbitkan sebagai bukti keseriusan pemerintah untuk menggarap mobil listrik. Jika dibandingkan dengan mobil BBM, mobil listrik hampir tidak mengeluarkan emisi dan harga untuk pengisian bahan bakar listrik di Stasiun Pengisian Listrik Umum(SPLU) relatif lebih murah dibandingkan BBM.
Dibalik keuntungan memakai mobil listrik perlu dicatatkan juga bahwa untuk pengadaan SPLU diperlukan Pembangkit Listrik yang lebih besar. Saat ini kebanyakan pembangkit listrik di Indonesia menggunakan PLTU yang berbahan bakar fossil, belum lagi  untuk melakukan pengisian di rumah sendiri menggunakan listrik dari National Grid. Menurut data terbaru dari Digest of UK Energy Statistics, dinyatakan bahwa 51 persen listrik National Grid berasal dari hasil pembakaran fosil, seperti gas dan batubara. 21 persen lain berasal dari tenaga nuklir, dan sisanya berasal dari sumber yang dimutakhirkan (Dikutip dari https://www.republika.co.id/berita/otomotif/mobil /17/12/04/ozcvui-ini-kelemahan-mobil-listrik  )
Menghadapi hal seperti ini, pemerintah juga harus mempersiapkan infrastruktur untuk dapat menyokong keberlangsungan mobil listrik, dengan cara pengadaan dan penambahan pembangkit listrik yang tidak bersumber dari hal yang tidak dapat diperbaharui. Seperti PLTA, PLT Angin, PLTO, PLTPS, dll harus diperbanyak dan dijadikan sebagai sumber energi listrik utama.