Sumber : Harian Sumatera Ekpres, 30 November 2009 Kms A Rivai, Kiprah Para Peneliti Metropolis , Bakar Batu Bara Hingga Konversikan Ampas Tebu,
Para peneliti tak sebatas meneliti, namun mereka mengaplikasikan hasil temuannya agar dapat dimanfaatkan. Salah satunya, penemuan bahan bakar dan energi alternatif Dr Ir M Faizal DEA dan Tahdid ST MT. Seperti apa
SOROT mata Faizal terlihat fokus pada layar komputer jinjing miliknya. Sesekali jarinya menekan keyboard dan seperti mempelajari sesuatu. “Sebentar lagi ada mata kuliah. Sebelum ngajar ya, lihat dulu materi yang diajarkan minggu lalu,” ujar Faizal mengawali perbincangan dengan wartawan koran ini di ruang tunggu dosen Fakultas Teknik Ekstension Unsri Bukit Besar akhir pekan lalu.
Maklum, jika Faizal tak punya banyak waktu melihat catatan materi kuliah yang akan ia berikan. Kesibukannya seabrek. Selain menjadi salah satu peneliti utama pada jurusan Teknik Kimia Unsri. Dia merupakan direktur eksekutif Riset Unggulan Strategis Nasional Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (Rusnas PEBT).
Rusnas ini merupakan lembaga bentukan Unsri yang melaksanakan program penelitian dari Kementerian Riset dan Teknologi RI bekerja sama dengan Pemprov Sumsel. Tahap awal, Rusnas PEBT fokus pada tiga bentuk penelitian yang ke depan dapat dikembangkan menjadi salah satu sumber energi baru dan terbarukan.
Ketiga penelitian yang dilakukan tersebut meliputi pencairan batu bara, coal blending serta biodiesel. “Semua penelitian itu, kita pusatkan di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspitek) Serpong, Tangerang.” Lanjutnya, salah satu penelitiannya yakni pencairan batu bara sekarang diproyeksikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk menjadi salah satu sumber energi alternatif. “Sekarang ini sumber energi dari fosil seperti minyak bumi cadangan berangsur-angsur habis di eksploitasi. Makanya, proyeksi sampai tahun 2025 dari batu bara akan muncul sebagai salah satu sumber energi alternatif,” kata pria kelahiran Palembang, 14 Mei 1958 lalu.
Faizal lantas mengurai sekilas proses pencairan batu bara dengan menggunakan alat reaktor auto-cluve berkapasitas 5 liter. Katanya, batu bara terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 430 derajat Celcius dengan tekanan 120 atmosfer (atm).
Nah, hasil pembakaran yang dibantu dengan hydro treating ini nantinya bakal dihasilkan crude syntetic oil atau CSO. “Berdasarkan uji karakteristiknya, CSO telah mendekati kepekatan pada minyak mesin diesel ataupun bensin.”
Diakuinya, butuh waktu sekitar tiga tahunan hingga diperoleh kesimpulan tersebut. Dan, Rusnas PEBT ini merangkul 25 peneliti, baik dari Unsri maupun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) pusat.
Langkah lain, kata ayah dari Siti Shabrina Hayati dan Ahmad Furqon Mubarok ini adalah memublikasikannya kepada dunia industri. Sekaligus, merancang pola penawaran kerja sama agar hasil penelitian tersebut dapat dimanfaatkan meski baru sebatas scoop yang kecil.
Lazimnya peneliti di Indonesia, kesulitan yang dihadapi Faizal dan rekannya sesama peneliti berupa hal klise. Di antaranya masih minimnya support dana dan fasilitas penelitian yang belum standar.
“Selama 2008 dan 2009 total dana yang kita terima untuk penelitian ini sebesar Rp7,6 miliar. Itu merupakan bantuan dari Kementerian Negara Ristek serta Pemprov Sumsel. Tapi, sayangnya itu juga belum didukung oleh regulasi serta kebijakan pemda soal kelangsungan hasil penelitian,” keluhnya.
Peneliti lain yang juga mencoba mengembangkan sumber energi baru dan terbarukan adalah Tahdid, ST MT, dosen Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Sriwijaya (Polsri). Produk yang coba dia dan dua rekanya, Zurohaina ST MT dan Yulisman SKom teliti adalah kemungkinan ampas (sisa tebu) yang dikonversi menjadi gasolin atau bensin.
Prosesnya dimulai dari pengambilan ampas tebu pabrik gula Cinta Manis. Setelah itu, dikeringkan di bawah panas matahari. Tahap berikut, ampas tebu dipotong kecil. “Baru kita masukkan ke alat khusus Thermal Cracking and Catalyze Reaktor (TCCR),” jelas Tahdid.
Proses konversi ini sendiri oleh Tahdid dan rekannya dinamai dengan sebutan proses Baggase to Gasolin atau BTG dengan dua tahap utama. “Di dalam TCCR dengan temperatur yang diatur di angka 300 derajat Celcius dilakukan sebanyak dua kali. Nah, pada reaktor kedua ini telah terbentuk gasolin atau tepatnya hidrokarbon bensin C5-C10 menggunakan katalis heterogen,” urainya lagi.
Lanjutnya, hasil penelitian dibiayai oleh Dikti pada ruang Penelitian Hibah Strategis Nasional sebesar Rp100 juta itu, diketahui bahwa keandalan ampas tebu yang dikonversi menjadi bensin. Ini bukan sebatas jumlahnya yang bisa dikonsumsi terus-menerus.
“Melainkan sebagai bahan baku,” tukasnya. Formula komponen yang ada di dalamnya mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan sebagai bahan bakar alternatif yang bernilai ekonomis. “Meski gasolin yang dihasilkan baru sedikit, tapi setidaknya kami sudah bisa menemukan bahwa ampas tebu ini sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai salah satu bahan bakar alternatif baru,” tukas suami dari Yetti Irmayanti ST MT yang kini bertugas sebagai PNS di Pemkot Prabumulih ini.(*)