Prof. Is Is (inisial) memang luar biasa. Diusianya yang baru menginjak 52 tahun mampu menulis 87 judul buku mulai dari tahun 2002 sampai sekarang. Di web-sitenya, Guru Besar FKIP Universitas Riau ini tercantum ada 8 judul buku yang ditulisnya pada tahun 2002, Di tahun 2003 dan 2004 masing masing 7 judul, 2005 sebanyak 15 judul. Tahun 2006 sebanyak 9 buah, tahun 2007 ada 10, tahun 2008 ada 7 judul, dan puncaknya pada tahun 2009 ada 13 buku yang telah dihasilkannya. Pantas kalau dia memperoleh rekor MURI. Sungguh prestasi yang sangat luaaar biasa. Dalam kurun waktu sepuluh tahun rata-rata dia menulis 8,7 judul buku per tahun. Kalau dirata ratakan artinya setiap 1,5 bulan dia menghasilkan 1 judul buku. Yang tidak dapat dibayangkan dia juga punya seabrek kegiatan mulai dari Dekan FKIP dan ketua berbagai-bagai organisasi kemasyarakatan. Prof. Satryo Sumantri Brojonegoro mengatakan hal ini sebagai “di luar azas kepatutan’ (Kompas 26 Agustus 2011). Taruhlah dia punya asisten untuk membantunya dalam pengetikan, tetap saja pekerjaan menyiapkan outline dan isi buku memerlukan perhatian yang serius dari ybs.
Salah satu bentuk kelalaiannya adalah membuat buku “Sejarah Maritim” yang diklaim sebagai karya plagiat dan menyebabkan sang guru besar ini dicopot gelar guru besarnya dan jabatan fungsionalnya turun kembali menjadi Lektor Kepala. Sejatinya buku yang dimaksud berjudul ‘Budaya Bahari” karya Joko Pramono seorang mayjend marinir purnawirawan yang diterbitkan oleh Gramedia.
Sebenarnya kasus plagiat ini bukan barang baru. Sebelumnya telah ada beberapa yang ketahuan dan diberikan sanksi. Fenomena plagiat ibarat gunung es. Tidak kelihatan diluar tapi kapal kejujuran akan tenggelam ketika menabraknya. Fenomena tidak jujur ini bukan saja dijumpai di dunia akademik tetapi juga dalam dunia industri dan perdagangan (walau tidak sama persis) berwujud pemalsuan merek dagang, memirip-miripkan merek produk dengan produk yang sudah terkenal misalnya Gucchi ditulis “Guchi”, Adidas menjadi “Adadis”, Sony menjadi Sonny dll sehingga orang yang tidak jeli akan terkecoh. Bahkan ada cerita bahwa dulu ada pompa tangan terkenal bermerek Dragon yang diplesetkan mereknya menjadi “Nikisami ing Dragon”(ini sama dengan dragon).
Menukar isi barang dengan barang palsu bermerek asli pada kosmetik atau parfum Menyuntik ayam atau sapi dengan air sehingga beratnya bertambah. Memberi formalin pada tahu agar awet, mewarnai makanan dengan produk berbahaya agar kelihatan lebih segar, termasuk juga mengurangi timbangan dan takaran saat menjual gula, ikan atau beras dll. Menukar casing hanpdhone dengan merek terkenal atau mencopot merek televisi dan menggantinya dengan merek lain yang lebih top. Membajak buku dan software dan banyak lagi.
Hikmah
Apa telaah yang dapat diperoleh dalam kasus ini? Pertama Prinsip kejujuran dan kehati- hatian merupakan suatu hal yang perlu dipegang oleh akademisi (dosen) dan mahasiswa. Tidak tertutup kemungkinan perbuatan plagiat juga telah dilakukan oleh dosen atau mahasiswa sebelum terbitnya Permendiknas No 17 tahun 2010. Kedua Keterbukaan informasi mengenai karya ilmiah yang dibuat oleh dosen dan mahasiswa perlu terus ditingkatkan. Pengungahan (upload) karya karya ilmiah melalui web site atau internet harus dijadikan semacam kewajiban bagi seluruh dosen dan mahasiswa. Paling tidak judul dan abstrak karya ilmiah dapat ditelusuri dengan mudah. Ketiga meningkatkan sosialisasi anti plagiat di kalangan dosen dan mahasiswa sejak dini. Artinya mahasiswa dan dosen harus diberikan pengertian apa itu plagiat dan plagiarism, dan bagaimana menghindarinya. Kalau mau jujur Kebiasaan copy and paste telah menjadi wabah di kalangan mahasiswa termasuk dosen. Ada dosen yang mengakali masalah ini dengan mewajibkan karya ilmiah mahasiswa ditulis tangan. Bahkan akhir akhir ini dosen yang ikut serdos ada yang harus diverifikasi dulu Evaluasi Dirinya karena adanya dugaan kemiripan satu sama lain.
Ada juga lho dosen yang tidak pernah “masuk lab” atau meneliti tapi naik pangkat terus karena dukungan “karya ilmiah” yang dibuat mahasiswanya dan diklaim sebagai milik sendiri. Pada umumnya mahasiswa cuek dan tidak memedulikan hal tersebut. Di kalangan mahasiswa tidak mustahil juga dijumpai hal-hal yang berbau plagiat misalnya mengambil judul penelitian atau skripsi dari universitas lainnya, mencaplok kalimat demi kalimat atau gambar dan tabel yang ada di karya ilmiah orang lain tanpa mencantumkan sumbernya. Bahkan pernah dijumpai proposal penelitian mahasiswa dalam suatu topik/bidang yang hampir sama persis titik komanya dengan proposal teman sebelumnya. Bedanya hanya terletak pada judul saja. Ke depan kewajiban mencantumkan pernyataan bukan plagiat harus menjadi kewajiban bagi seluruh dosen dan mahasiswa. Sanksi keras bagi dosen atau mahasiswa yang melanggar harus ditetapkan. Bila perlu dosen yang ketahuan plagiat diturunkan jenjang fungsionalnya dan sekaligus harus mengembalikan tunjangan jabatan yang telah dibayarkan selama dia menduduki jabatan tersebut secara tidak sah. Bagi mahasiswa sanksi dapat saja berupa pembatalan gelar akademik yang disandangnya.
Namun demikian kita percaya masih banyak dosen dan mahasiswa yang punya integritas dan mempertahankan harga diri mereka ketimbang melakukan jalan pintas yang tak halal itu. Mengutip Prof. Djoko Santoso (Dirjen Dikti) terkait dengan kasus plagiat yang terjadi dalam dunia akademis yang mengatakan “Pokoknya kita harus menggunakan asumsi dasar orang jujur itu lebih banyak”(Kompas.com 17 Juni 2011). Artinya masih banyak dosen dan mahasiswa yang jujur. Semoga!.