Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Berbagai macam agama, suku, adat istiadat, dan budaya berbaur bersatu di Indonesia. Keanekaragaman hayati yang didukung dengan kekayaan alam yang melimpah menjadikan Indonesia negeri yang kaya. Sumber daya alam terutama batu bara, minyak bumi, dan gas alam tersebar di sepanjang wilayah negara Indonesia ini. Ada banyak sekali industri-industri yang berkembang dan membuat pabriknya di wilayah Indonesia, Salah satu industri yang menjadi pemasok devisa negara yaitu industri minyak bumi dan gas. Akan tetapi, pemanfaatan sumber daya alam ini mengesampingkan kemakmuran rakyat selama ini.
Pemerintah melalui Presiden mendeklarasikan membangun pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW yang menandakan kemajuan bagi bangsa Indonesia dengan pembangunan pembangkit listrik yang akan menerangi seluruh wilayah Indonesia sampai ke pelosok negeri sekalipun. Tapi, dibalik kemajuan pembangunan Indonesia ada permasalah besar yang sedang dialami Indonesia. Salah satu bahan utama pembangkit listrik adalah batu bara. Batu bara itu sendiri adalah sisa-sisa makhluk hidup yang mengendap selama ribuan tahun dan membentuk batuan-batuan. Negara ini memiliki pasokan batu bara yang sangat banyak terutama di Kalimantan dan Sumatera. Eksploitasi batu bara semakin terus meningkat seiring dengan rencana pembangunan pembangkit listrik. Mungkin pilihan yang tepat bagi pemerintah untuk memakmurkan rakyatnya tetapi tidak dengan rakyat sekitar pembangkit maupun area tambang yang terkena imbas perusakan lingkungan dari tambang batu bara.
Menurut data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batu bara tahun 2018 mencapai 548,58 juta ton. (Tulisan ini juga dimuat di www.mbisnis.com oleh Lucky Leonard). Batu bara akan terus menjadi sumber utama untuk kebutuhan PLTU. Berbagai macam keluhan maupun protes yang dilakukan masyarakat seperti yang terjadi di Jambi, sungai untuk bercocok tanam tercemar batu bara, lokasi tambang yang berjarak 500 meter lama kelamaan semakin mendekati rumah warga. Di Kalimantan Timur, lubang bekas galian tambang belum semuanya di reklamasi sehingga menyebabkan hilangnya korban jiwa yang notabene anak anak yg berjumlah 24 orang. Di Cilacap, ekspansi PLTU menimbulkan konflik lahan dan juga warga harus terpapar dampak limbah dari pengolahan batu bara itu sendiri.
Sudah saatnya ada solusi lain yang bisa ditawarkan ke masyarakat. Tidak ada lagi keluhan maupun penolakan hingga menyebabkan nyawa melayang. Pengurangan produksi batu bara patut diperhitungkan terlebih banyak dampak buruk yang dirasakan oleh masyarakat. Salah satu solusinya adalah peningkatan produksi gas alam. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) hingga akhir 2017, bahan bakar pembangkit listrik yang berasal dari gas bumi atau alam hanya sebesar 24,82 % Sedangkan untuk batu bara melebihi angka 50 %. Ini mengindikasian jika Indonesia masih bergantung dengan batu bara padahal berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh General Electric, jumlah simpanas gas alam di Indonesia lebih banyak lima kali lipat dari simpanan sumber daya minyak buminya. Kurang lebih ada 157,14 triliun kaki kubik (TCF) jumlah gas yang telah terdeteksi.( Tulisan ini juga dimuat di www.geologinesia.com/2017/10/pemanfaatan-gas-alam-di-indonesia.html?m=1). Belum lagi baru-baru ini sebuah perusahaan asal spanyol, repsol menemukan cadangan gas terbesar kelima di dunia. Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto mengatakan, “ cadangan gas yang ditemukan diperkiran mencapai 2 triliun kaki kubik (TCF)”.
Bukan tidak mungkin gas alam akan menjadi sumber utama pembangkit listrik kedepannya jika saja pemerintah bisa serius dan mau mengembangkan teknologi dengan berlandaskan aspek-aspek kemanusiaan kepada masyarakatnya. Ada tiga faktor mengapa gas alam harus menjadi pemasok kedepannya. Pertama, sumber yang melimpah. Potensi pengembangan gas alam didukung dengan cadangan gas yang besar dapat mengembangkan teknologi lain selain batu bara. Kedua, bersih dan ramah lingkungan. gas alam memiliki emisi yang lebih kecil yaitu menghasilkan karbon dioksida 45 % lebih sedikit dari batu bara. Gas alam tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan lingkungan dibandingkan batu bara dan juga gas alam adalah sumber yang relatif “bersih” yang hasil proses ataupun emisi buang lebih rendah dari batu bara. Ketiga, harga yang relatif sama. Walaupun gas alam memiliki harga yang lebih mahal sedikit dengan batu bara tetapi dengan stok yang melimpah diikuti dengan dampak ke lingkungan kecil harusnya pemerintah Indonesia dapat sedikit demi sedikit beralih ke energi yang ramah lingkungan dan dapat memakmurkan rakyatnya. Sudah sepatutnya kita sebagai bangsa Indonesia mengharapkan perubahan menjadi lebih baik lagi. Perubahan yang akan membawa keadilan, kemajuan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.